NEGERI UJUNG UTARA

NEGERI UJUNG UTARA
PWI REFORMASI

Jumat, 25 Mei 2012

Sejarah Singkat PWI-Reformasi


Menyambut Deklarasi PWI-Reformasi 21 November 1998, bagaimana sikap H. Rosihan Anwar? Bagaimana pula peran Dahlan Iskan dalam proses kelahiran PWI-Reformasi?

KEPUTUSAN Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-XX di Semarang, 11-12 Oktober 1998, yang menetapkan Tarman Azzam dan Bambang Sadono masing-masing sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal PWI Pusat sangat mengecewakan para wartawan. Keduanya dinilai tidak kredibel serta cacat politik dan moral. Tarman, mantan ketua PWI Cabang Jakarta, ketika itu memecat 13 anggota PWI Jaya penandatangan Deklarasi Sirnagalih yang melahirkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 

Tindakan Tarman melanggar mekanisme organisasi, dan karenanya dinilai menginjak-injak Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI sendiri (baca PWI: Profesi, Dekadensi dan Kursi oleh Budiman S. Hartoyo).


Demikian pula PWI Pusat yang “memahami” keputusan pemerintah Soeharto yang membreidel majalah TEMPO, Editor dan tabloid DeTik, yang juga diamini PWI Cabang Jakarta, merupakan pertanda PWI tidak independen bahkan terkooptasi oleh kekuasaan represif Orde Baru. Ketika itu Tarman juga mengancam mencabut rekomendasi untuk memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) jika ada pemimpin redaksi yang mempekerjakan wartawan yang telah dipecatnya. 

Adapun Bambang Sadono, yang menyelewengkan DO (delivery order) beras dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah untuk rakyat, dan karenanya dipecat sebagai wartawan Suara Merdeka, jelas cacat kriminal. Seperti halnya Harmoko dan Sofyan Lubis (keduanya mantan Ketua Umum PWI Pusat), Tarman dan Bambang juga menunggangi PWI sebagai kendaraan politik hingga menjadi anggota parlemen dari Fraksi Golkar.

Berita terpilihnya Tarman-Bambang tersebut dimuat di Kompas edisi Jumat 16 Oktober 1998. Hari itu, Jumat siang di Jakarta, Budiman S. Hartoyo (yang juga salah seorang penandatangan Deklarasi Sirnagalih tentang berdirinya AJI) menyiarkan pernyataan menolak hasil Kongres ke-XX PWI di Semarang, dan mengajak para wartawan anggota PWI untuk segera “menyelamatkan organisasi” dengan mendirikan PWI-Reformasi; dan kalau perlu dengan menggelar Kongres Luar Biasa. Esok harinya, press release tersebut dimuat oleh LKBN Antara, harian Kompas, dan sejumlah suratkabar yang terbit di Jakarta dan di daerah-daerah.


Hari-hari pada pertengahan Oktober 1998 itu Kompas menyiarkan pula berita terbentuknya Tim Penyelamat PWI yang dibentuk oleh para wartawan anggota PWI Cabang Yogyakarta yang beranggotakan tujuh orang, antara lain, Masduki Attamami (Antara), Hariyadi Saptono (Kompas), Asril Sutan Marajo (Suara Merdeka), Bambang Soen (Republika). Dalam Himbauan Moral 19 Oktober 1998 mereka selain menolak hasil Kongres PWI ke-XX juga mendesak agar duet Tarman-Bambang segera mengundurkan diri. Jika tidak, PWI Cabang Yogyakarta mengancam akan memisahkan diri dari PWI Pusat. Kompas juga menyiarkan terbentuknya Fortas (Forum Wartawan Semarang), yang bersama sejumlah wartawan Kudus, Jepara, Pati dan Solo menggelar demonstrasi menolak hasil Kongres PWI ke-XX. Gerakan tersebut dimotori oleh Bandelan Amaruddin (TEMPO), Prayit (Suara Merdeka), Haryanto (Media Indonesia), Saiful Bahri (Adil), Kastoyo Ramelan (Gatra). Mereka sempat membakar jaket dan kartu tanda anggota PWI.


Belakangan Kompas memuat artikel dan wawancara beberapa tokoh pers nasional seperti Rosihan Anwar, Ashadi Siregar, Satrio Arismunandar. Menurut Rosihan, satu-satunya pendiri PWI yang masih hidup, pemilihan pengurus di Kongres PWI ke-XX tidak demokratis bahkan sarat dengan money politics. Rosihan bahkan mengungkapkan, ia sudah “pamit” tidak lagi bergabung dengan PWI. Ia juga menyatakan sangat prihatin karena gagal mengusahakan pemisahan (delinking) PWI dari Golkar. Mencermati kenyataan itu, bagi pengamat pers Ashadi Siregar, PWI sudah finished, sudah “habis”; sementara bagi Satrio Arismunandar (Ketua Umum AJI yang pertama), PWI sudah tidak memiliki kredibilitas dan legitimasi lagi.


Ketika Budiman S. Hartoyo dan Sori Siregar (kini konsultan Radio 68-H, Jakarta) pada 24 Oktober 1998 menemui Rosihan di rumahnya, Jalan Surabaya 13, Jakarta Pusat, tokoh pers nasional tersebut menyatakan bersedia membantu PWI-Reformasi. Setahun kemudian, dalam pelantikan pengurus PWI-Reformasi Koordinator Daerah Jakarta Raya yang diikuti dengan diskusi mengenai profesionalisme pers di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) Jakarta, 7 Februari 1999, Rosihan Anwar juga hadir, duduk di samping Haris Jauhari, Ketua IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) yang ketika itu bertindak sebagai moderator.

“Karya Nyata”
Berita-berita yang disiarkan beberapa media, terutama oleh harian Kompas -- yang beredar luas dan berpengaruh -- dalam hitungan hari memicu konsolidasi para wartawan di seluruh Indonesia untuk mendukung PWI-Reformasi. Bahkan artikel Djoko Susilo, Pemimpin Redaksi Tabloid Amanat (edisi 29 Oktober 1998) menganjurkan, agar para wartawan meninggalkan PWI dan bergabung dengan PWI-Reformasi. Djoko Susilo, yang kini anggota Komisi I DPR-RI Fraksi Reformasi itu, antara lain menulis, “karya nyata” Tarman Azzam yang sangat tidak populer ialah memecat 13 wartawan anggota PWI Jaya dan melarang mereka bekerja di media massa pada 1995; bahkan setahun sebelumnya “memahami” sikap pemerintah Orde Baru membreidel tiga media massa. Tarman juga mencabut rekomendasi pemimpin redaksi beberapa media yang mempekerjakan anggota PWI Jaya yang telah dipecatnya. "Masih banyak lagi dosa-dosa Tarman terhadap wartawan, tapi anehnya Kongres PWI malahan memilih orang yang kebijaksanaannya selama menjadi ketua PWI Jaya merugikan wartawan," tulisnya.


Secara diam-diam berbagai upaya konsolidasi PWI-Reformasi dikendalikan dari kantor Majalah D&R, Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan. Kontak-kontak dengan para wartawan di seluruh Indonesia dilakukan melalui fax, sementara himbauan kepada pengurus cabang PWI di seluruh Indonesia dikirimkan melalui fax maupun pos kilat khusus pada 5 November 1998. Pada waktu yang hampir bersamaan, di Yogyakarta Bambang Soen memimpin upacara tradisional Jawa nglarung di pantai Parangtritis dengan membuang jaket dan kartu tanda anggota PWI ke Segoro Kidul alias Samudera Hindia, “sebagai upaya membuang sial.”

Pada pertengahan November 1998, Bambang Soen dan Masduki Attamami di Yogyakarta mengontak Budiman S. Hartoyo di Jakarta. Mereka akan menggelar Sarasehan Sehari Menyelamatkan PWI dengan tema Wartawan Menggugat di Hotel Radisson Yogyakarta, 21 November 1998. Para pemakalah, antara lain, Rosihan Anwar, Atmakusumah Astraatmadja, Fikri Jufri, Satrio Arismunandar, Budiman S. Hartoyo, dengan moderator Darmanto Jt, dosen Universitas Diponegoro Semarang. Makalah H. Rosihan Anwar, Upaya Kembali ke Khitthah 1946 dimuat di Suara Merdeka (Semarang), makalah Budiman S. Hartoyo, PWI: Profesi, Dekadensi dan Kursi dimuat di Kedaulatan Rakyat (Yogya) dan makalah Satrio Arismunandar, PWI Jaya di Masa Kepemimpinan Tarman Azzam dimuat di Berita Nasional (Yogya), pada hari yang sama, 21 November 1998.


Dalam makalahnya, dengan nada keras Rosihan Anwar menyesalkan sikap politik pengurus PWI Pusat yang selama ini “bergandengan tangan” dengan kekuasaan, bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Golongan Karya. Satu-satunya wartawan senior pendiri PWI yang masih hidup ini juga menekankan perlunya independensi, dan oleh karena itu harus dilakukan delinking (pemisahan secara tegas) PWI dari Golkar. “Jujur dan akui sajalah, seagian anggota PWI Pusat adalah orang-orang yang seia mematuhi rezim otoriter Soeharto,” kata Rosihan. Dan pada akhirnya Rosihan menegaskan, “Jika sarasehan berpendapat, kereta lama sudah tidak cocok lagi, maka tiada pilihan lagi kecuali menumpang kereta lain yang dapat dipercaya dan diandalkan untuk membawa wartawan kepada destinasi dan terminalnya.”  


Menjelang diskusi berakhir, Dahlan Iskan tampil ke mimbar. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, pimpinan Grup Jawa Pos tersebut dengan suara lantang menganjurkan agar “sekarang juga kita bentuk saja PWI-Reformasi atau PWI-Independen” (Radar Jateng, edisi 22 November 1998). Anjuran Dahlan Iskan, yang saat itu telah menerbitkan sekitar 40-an suratkabar, disepakati oleh sebagian terbesar hadirin dengan beramai-ramai menandatangani naskah Deklarasi PWI-Reformasi pada  selembar kertas putih, dipandu oleh Masduki Attamami. Dengan demikian, maka secara resmi tanggal 21 November 1998 dinyatakan sebagai hari lahir PWI-Reformasi.


Sebulan kemudian, Desember 1998, para aktivis PWI-Reformasi Korda Jawa Tengah menyambut Deklarasi PWI-Reformasi dengan menggelar happening art oleh koreografer Sardono W. Kusumo di Gedung Monumen Pers Nasional Solo, tempat kelahiran PWI pada 9 Februari 1946. Seluruh gedung antik itu, juga benda-benda di dalamnya -- bahkan juga sebuah delman dan kuda yang mangkal di depan gedung -- dibalut dengan kertas koran. Malamnya, dalam pertemuan para aktivis PWI-Reformasi seluruh Jawa yang dipimpin oleh Margiono dari Grup Jawa Pos, diputuskan untuk segera menggelar Kongres Luar Biasa di Jakarta. Tapi, penyelenggaraan Kongres Luar Biasa tersebut terkendala oleh kesibukan menjelang pemilihan umum 1999.

Kongres Nasional

Menjelang pemilihan umum 1999, PWI-Reformasi membentuk tim pemantau pemilu yang disebut Jaringan Wartawan Pemantau Pemilu (JWPP), dengan project officer Gatot Indroyono, sekaligus sebagai upaya menggalang konsolidasi organisasi. Adalah Umar HN yang pertama kali membentuk PWI-Reformasi Koordinator Daerah Aceh, disusul Faiz Albar (Sulawesi Utara), Mukhlizardy Mochtar (Sumatera Utara), Said Ardillah (Riau), Artho Naziartho (Sumatera Selatan), Marlis Lubis dan Moh Chudhori (Jambi), Bandelan Amaruddin (Jawa Tengah), Bambang Kartika Wijaya (Kalimantan Tengah), Muchlis Mondia (Kalimantan Selatan), Aidir Amin Daud (Sulawesi Selatan), Tasman Banto (Sulawesi Tenggara), Harzufry Sulaiman (Nusa Tenggara Timur), Supriyantho Khafid (Nusa Tenggara Barat), Didi Puji Yuwono (Jawa Timur), Ema Sukarelawanto (Bali), Willem Yobie (Irian Jaya).
Belakangan menyusul sejumlah daerah lain: Budi Nugraha (Jawa barat), Asraferi Sabri (Sumatera Barat), Abdul Madjid (Lampung), Syarifuddin Siregar (Bengkulu), La Bata dan Jaya Putera (Kalimantan Barat), Badrul Munir (Kalimantan Timur), Andi Hatta (Sulawesi Tenggara), Achmad Ibrahim (Maluku). Kini PWI-Reformasi sudah berdiri di semua propinsi, bahkan juga di propinsi-propinsi yang baru: Banten, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Gorontalo; kecuali Bangka-Belitung. Namun, dalam perkembangannya selama tiga tahun, ada beerapa koordinator daerah yang “mati suri” seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah. 


Sejak itu PWI-Reformasi mulai dikenal secara luas. Terutama pada 9 Februari 1999 ketika untuk pertama kalinya PWI-Reformasi menyiarkan pernyataan menolak hari lahir PWI tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Alasannya, Hari Pers Nasional merupakan upaya mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk mempolitisasi PWI guna mendukung karir politiknya, sekaligus mengkooptasi pers Indonesia. Apalagi sebelum PWI lahir sudah banyak organisasi wartawan yang jauh lebih tua dan lebih nasionalis. Tak berapa lama kemudian, juga untuk pertama kalinya, PWI-Reformasi muncul ke permukaan dengan menggelar demonstrasi bersama aktivis Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen dan Pewarta Foto Indonesia  membela tiga wartawan yang dilarang meliput kegiatan di Kejaksaan Agung.


Menjelang diselenggarakannya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999, bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Pewarta Foto Indonesia dan Aliansi Radio Independen, PWI-Reformasi menolak jatah kursi untuk Wakil Golongan Wartawan di Majelis Permusyawaratan Rakyat, karena menganggap posisi politik tersebut inkonstitusional. Pernyataan disampaikan oleh Budiman S. Hartoyo, Gatot Indroyono (PWI-Reformasi) dan Arbain Rambey (Pewarta Foto Indonesia) kepada Rudini, Ketua Komite Pemilihan Umum. Belakangan Budiman S. Hartoyo, atas nama PWI-Reformasi, diminta berbicara sebagai narasumber dalam diskusi mengenai pers dan pemilihan umum yang digelar oleh Komite Pendidikan Pemilih (KPP) pimpinan Prof Dr Nurcholish Madjid di Gedung Yayasan tenaga Kerja indonesia, Jakarta.


Untuk mengefektifkan upaya konsolidasi, terutama menjelang Kongres Nasional I di Semarang, dibuatlah mailing-list “Kedai Informasi dan Diskusi antarwarga PWI-Reformasi”. Mailing-list tersebut sangat membantu kelancaran kerja Panitia Pelaksana Kongres Nasional I PWI-Reformasi yang dimotori oleh Saiful Bahri, Irianto, Bandelan Amaruddin, Prayitno, Moh. Thoriq, Kastoyo Ramelan dari PWI-Reformasi Koordinator Daerah Jawa Tengah.


Maka pada 22-24 Maret 2000, dengan dana seadanya, Kongres Nasional I PWI-Reformasi pun digelar di kawasan wisata Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kongres dibuka di teras Gedung DPRD Propinsi Jawa Tengah oleh Umar HN (Korda Aceh), Said Ardillah (Korda Riau) dan Willem Yobi (Korda Irian Jaya); dengan kata sambutan oleh Kastoyo Ramelan (Ketua Panitia Pelaksana) dan Budiman S. Hartoyo (Ketua Panitia Pengarah), dilanjutkan dengan penandatanganan Deklarasi kongres Nasional I PWI-Reformasi oleh semua delegasi pada selembar kain kanvas putih. Kongres berlangsung dalam suasana dinamis, demokratis dan bersemangat – hal yang tak mungkin terjadi dalam Kongres PWI-Ordebaru! Dalam Kongres Nasional I tersebut Budiman S. Hartoyo terpilih sebagai Ketua Umum Koordinator Nasional PWI-Reformasi periode 2000-2003, Eddy Mulyadi sebagai Sekretaris Jenderal, Acin H. Yassien sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Nasional, sedangkan Karni Ilyas sebagai Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi.


Delapan bulan kemudian diselenggarakanlah Konperensi Kerja Nasional I di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 19-22 November 2001. Dalam sidang yang sangat dinamis, diputuskan untuk melakukan reshuffle pengurus Koordinator Nasional dan membentuk Tim Pelaksana Harian. Keputusan penting lainnya ialah menunjuk PWI-Reformasi Koordinartor Daerah Jambi sebagai tuan rumah bagi penyelenggaraan Kongres Nasional II. Berbeda dengan Kongres Nasional I yang digelar dalam suasana prihatin (tapi penuh semangat), Kongres Nasional II yang digelar di Hotel Tepian Ratu, Jambi, pada 22-24 Maret 2003, berlangsung meriah.


Dalam Kongres Nasional II itu muncul tiga calon ketua umum: Budiman S. Hartoyo, Praginanto dan Priyono B.Sumbogo. Dalam pemilihan tahap pertama, Budiman S. Hartoyo meraih suara 19, Praginanto 17, sementara Priyono B. Sumbogo 4. Sesaat sebelum pemilihan tahap kedua dimulai, Budiman S. Hartoyo tampil ke panggung minta persetujuan kepada korda-korda pendukungnya untuk mengundurkan diri. Setelah korda-korda menyetujui, Budiman S. Hartoyo menyatakan, antara lain, “Saya kembali mencalonkan diri bukan didorong oleh ambisi pribadi melainkan sebagai upaya untuk membangun suasana demokratis, jangan sampai yang muncul cuma calon tunggal. Dan kini, kalau saya mengundurkan diri bukanlah bermaksud berlepas tangan dari tanggungjawab sebagai pemimpin atau mengabaikan amanat para pendukung, melainkan karena semata-mata ingin menciptakan mekanisme kesinambungan kepemimpinan. Dan bahwa posisi ketua umum bukanlah semacam ‘jabatan’ atau ‘pangkat’ melainkan terkait erat dengan sebuah konsekwensi yang disebut tanggungjawab.”


Maka Praginanto pun terpilih sebagai Ketua Umum Koordinator Nasional PWI-Reformasi periode 2003-2006, Asep Iskandar sebagai Sekretaris Jenderal, Umar HN sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Nasional, sementara Budiman S. Hartoyo sebagai Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi. Ada satu hal yang perlu dicatat dalam Kongres Nasional II di Jambi ini, ialah hadirnya Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, yang antara lain menyatakan, “Kalau Dewan Pers tidak mengakui eksistensi PWI-Reformasi, tidaklah mungkin hari ini saya hadir di hadapan Saudara-Saudara sekalian dalam sebuah forum resmi seperti Kongres Nasional II di Jambi ini.” 

Menjelang pemilu 2003, ada beberapa pengurus koordinator daerah yang menilai bahwa pengurus Kornas PWI-Ref hasil Kongres Nasional II di Jambi melenceng dari amanat kongres. Antara lain, Kornas dinilai cenderung membawa PWI-Ref mendukung salah seorang calon presiden, sehingga tidak lagi independen. Maka pada akhir Desember 2004, digelarlah Kongres Luar Biasa di Hotel Sargede, Yogyakarta. Hasilnya: Ismed Hasan Putro terpilih sebagai ketua umum, dan nama PWI-Ref diganti menjadi Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).

Tapi, sampai sekitar satu setengah tahun kemudian, lagi-lagi pengurus PJI, terutama ketua umum, dinilai tidak amanah. Bahkan Ismed tidak mengakui bahwa PJI menrupakan kelanjutan dari PWI-Ref, sementara lambang organisasi diganti tanpa melalui keputusan kongres. Maka sejumlah korda menuntut agar segera digelar lagi kongres untuk menyelamatkan organisasi.
Pada akhir Agustus 2007, berlangsunglah kongres di Subang, Jawa Barat. Dalam forum ini para peserta sepakat mengembalikan nama organisasi menjadi PWI-Reformasi, sementara Narliswandi Piliang dan Kaka Suminta masing-masing sebagai ketua umum dan sekretaris umum.

---------------------

*) Data-data dalam naskah sejarah tersebut di atas, yang disusun oleh oleh Tim Sejarah PWI-Reformasi, tentulah belum sempurna. Masih banyak data, bahkan juga nama kawan-kawan yang berperan, belum tercatat. Naskah ini hendaknya disempurnakan oleh kawan-kawan, terutama yang ikut serta di masa awal sejarah PWI-Reformasi. Kawan-kawan berikut ini juga diharapkan sumbangannya, yaitu Masduki Attamami (mengenai seminar “Wartawan Menggugat” di Hotel Radisson, Yogyakarta), Bambang Soen (mengenai upacara nglarung di pantai Parangtritis, Yogyakarta), Bandelan Amaruddin dan Prayit (mengenai demonstrasi di Semarang), Kastoyo Ramelan (mengenai pertemuan di Museum Pers Solo menjelang Kongres Nasional I), Saiful Bahri (mengenai Kongres Nasional I di Bandungan, Semarang), Moh. Chudhori (mengenai Kongres Nasional II di Jambi), Sunu Budi Priyanto (mengenai KLB Yogyakarta), dan Kaka Suminta (mengenai Kongres Subang).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RSS FEED