Menyambut Deklarasi
PWI-Reformasi 21 November 1998, bagaimana sikap H. Rosihan Anwar? Bagaimana
pula peran Dahlan Iskan dalam proses kelahiran PWI-Reformasi?
KEPUTUSAN Kongres
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-XX di Semarang, 11-12 Oktober 1998, yang
menetapkan Tarman Azzam dan Bambang Sadono masing-masing sebagai ketua umum dan
sekretaris jenderal PWI Pusat sangat mengecewakan para wartawan. Keduanya
dinilai tidak kredibel serta cacat politik dan moral. Tarman, mantan ketua PWI
Cabang Jakarta, ketika itu memecat 13 anggota PWI Jaya penandatangan Deklarasi
Sirnagalih yang melahirkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tindakan Tarman
melanggar mekanisme organisasi, dan karenanya dinilai menginjak-injak Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI sendiri (baca PWI: Profesi, Dekadensi
dan Kursi oleh Budiman S. Hartoyo).
Demikian
pula PWI Pusat yang “memahami” keputusan pemerintah Soeharto yang membreidel
majalah TEMPO, Editor dan tabloid DeTik, yang juga diamini
PWI Cabang Jakarta, merupakan pertanda PWI tidak independen bahkan terkooptasi
oleh kekuasaan represif Orde Baru. Ketika itu Tarman juga mengancam mencabut
rekomendasi untuk memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) jika ada
pemimpin redaksi yang mempekerjakan wartawan yang telah dipecatnya.
Adapun
Bambang Sadono, yang menyelewengkan DO (delivery order) beras dari
Pemerintah Daerah Jawa Tengah untuk rakyat, dan karenanya dipecat sebagai
wartawan Suara Merdeka, jelas cacat kriminal. Seperti halnya Harmoko dan
Sofyan Lubis (keduanya mantan Ketua Umum PWI Pusat), Tarman dan Bambang juga
menunggangi PWI sebagai kendaraan politik hingga menjadi anggota parlemen dari
Fraksi Golkar.
Berita
terpilihnya Tarman-Bambang tersebut dimuat di Kompas edisi Jumat 16 Oktober
1998. Hari itu, Jumat siang di Jakarta, Budiman S. Hartoyo (yang juga salah
seorang penandatangan Deklarasi Sirnagalih tentang berdirinya AJI) menyiarkan
pernyataan menolak hasil Kongres ke-XX PWI di Semarang, dan mengajak para
wartawan anggota PWI untuk segera “menyelamatkan organisasi” dengan mendirikan
PWI-Reformasi; dan kalau perlu dengan menggelar Kongres Luar Biasa. Esok
harinya, press release tersebut dimuat oleh LKBN Antara, harian Kompas,
dan sejumlah suratkabar yang terbit di Jakarta dan di daerah-daerah.
Hari-hari
pada pertengahan Oktober 1998 itu Kompas menyiarkan pula berita
terbentuknya Tim Penyelamat PWI yang dibentuk oleh para wartawan anggota PWI
Cabang Yogyakarta yang beranggotakan tujuh orang, antara lain, Masduki Attamami
(Antara), Hariyadi Saptono (Kompas), Asril Sutan Marajo (Suara
Merdeka), Bambang Soen (Republika). Dalam Himbauan Moral 19 Oktober
1998 mereka selain menolak hasil Kongres PWI ke-XX juga mendesak agar duet
Tarman-Bambang segera mengundurkan diri. Jika tidak, PWI Cabang Yogyakarta
mengancam akan memisahkan diri dari PWI Pusat. Kompas juga menyiarkan
terbentuknya Fortas (Forum Wartawan Semarang), yang bersama sejumlah wartawan
Kudus, Jepara, Pati dan Solo menggelar demonstrasi menolak hasil Kongres PWI
ke-XX. Gerakan tersebut dimotori oleh Bandelan Amaruddin (TEMPO), Prayit
(Suara Merdeka), Haryanto (Media Indonesia), Saiful Bahri (Adil),
Kastoyo Ramelan (Gatra). Mereka sempat membakar jaket dan kartu tanda
anggota PWI.
Belakangan Kompas
memuat artikel dan wawancara beberapa tokoh pers nasional seperti Rosihan
Anwar, Ashadi Siregar, Satrio Arismunandar. Menurut Rosihan, satu-satunya
pendiri PWI yang masih hidup, pemilihan pengurus di Kongres PWI ke-XX tidak
demokratis bahkan sarat dengan money politics. Rosihan bahkan mengungkapkan,
ia sudah “pamit” tidak lagi bergabung dengan PWI. Ia juga menyatakan sangat
prihatin karena gagal mengusahakan pemisahan (delinking) PWI dari
Golkar. Mencermati kenyataan itu, bagi pengamat pers Ashadi Siregar, PWI sudah finished,
sudah “habis”; sementara bagi Satrio Arismunandar (Ketua Umum AJI yang
pertama), PWI sudah tidak memiliki kredibilitas dan legitimasi lagi.
Ketika
Budiman S. Hartoyo dan Sori Siregar (kini konsultan Radio 68-H, Jakarta) pada
24 Oktober 1998 menemui Rosihan di rumahnya, Jalan Surabaya 13, Jakarta Pusat,
tokoh pers nasional tersebut menyatakan bersedia membantu PWI-Reformasi.
Setahun kemudian, dalam pelantikan pengurus PWI-Reformasi Koordinator Daerah
Jakarta Raya yang diikuti dengan diskusi mengenai profesionalisme pers di
Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) Jakarta, 7 Februari 1999, Rosihan
Anwar juga hadir, duduk di samping Haris Jauhari, Ketua IJTI (Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia) yang ketika itu bertindak sebagai moderator.
“Karya Nyata”
Berita-berita
yang disiarkan beberapa media, terutama oleh harian Kompas -- yang
beredar luas dan berpengaruh -- dalam hitungan hari memicu konsolidasi para
wartawan di seluruh Indonesia untuk mendukung PWI-Reformasi. Bahkan artikel
Djoko Susilo, Pemimpin Redaksi Tabloid Amanat (edisi 29 Oktober 1998)
menganjurkan, agar para wartawan meninggalkan PWI dan bergabung dengan
PWI-Reformasi. Djoko Susilo, yang kini anggota Komisi I DPR-RI Fraksi Reformasi
itu, antara lain menulis, “karya nyata” Tarman Azzam yang sangat tidak populer
ialah memecat 13 wartawan anggota PWI Jaya dan melarang mereka bekerja di media
massa pada 1995; bahkan setahun sebelumnya “memahami” sikap pemerintah Orde
Baru membreidel tiga media massa. Tarman juga mencabut rekomendasi pemimpin
redaksi beberapa media yang mempekerjakan anggota PWI Jaya yang telah
dipecatnya. "Masih banyak lagi dosa-dosa Tarman terhadap wartawan, tapi
anehnya Kongres PWI malahan memilih orang yang kebijaksanaannya selama menjadi
ketua PWI Jaya merugikan wartawan," tulisnya.
Secara diam-diam
berbagai upaya konsolidasi PWI-Reformasi dikendalikan dari kantor Majalah D&R,
Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan. Kontak-kontak dengan para wartawan di
seluruh Indonesia dilakukan melalui fax, sementara himbauan kepada pengurus
cabang PWI di seluruh Indonesia dikirimkan melalui fax maupun pos kilat khusus
pada 5 November 1998. Pada waktu yang hampir bersamaan, di Yogyakarta Bambang
Soen memimpin upacara tradisional Jawa nglarung di pantai Parangtritis
dengan membuang jaket dan kartu tanda anggota PWI ke Segoro Kidul alias
Samudera Hindia, “sebagai upaya membuang sial.”
Pada
pertengahan November 1998, Bambang Soen dan Masduki Attamami di Yogyakarta
mengontak Budiman S. Hartoyo di Jakarta. Mereka akan menggelar Sarasehan
Sehari Menyelamatkan PWI dengan tema Wartawan Menggugat di Hotel
Radisson Yogyakarta, 21 November 1998. Para pemakalah, antara lain, Rosihan
Anwar, Atmakusumah Astraatmadja, Fikri Jufri, Satrio Arismunandar, Budiman S.
Hartoyo, dengan moderator Darmanto Jt, dosen Universitas Diponegoro Semarang.
Makalah H. Rosihan Anwar, Upaya Kembali ke Khitthah 1946 dimuat di Suara
Merdeka (Semarang), makalah Budiman S. Hartoyo, PWI: Profesi, Dekadensi
dan Kursi dimuat di Kedaulatan Rakyat (Yogya) dan makalah Satrio
Arismunandar, PWI Jaya di Masa Kepemimpinan Tarman Azzam dimuat di Berita
Nasional (Yogya), pada hari yang sama, 21 November 1998.
Dalam
makalahnya, dengan nada keras Rosihan Anwar menyesalkan sikap politik pengurus
PWI Pusat yang selama ini “bergandengan tangan” dengan kekuasaan, bahkan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari Golongan Karya. Satu-satunya wartawan senior
pendiri PWI yang masih hidup ini juga menekankan perlunya independensi, dan
oleh karena itu harus dilakukan delinking (pemisahan secara tegas) PWI
dari Golkar. “Jujur dan akui sajalah, seagian anggota PWI Pusat adalah
orang-orang yang seia mematuhi rezim otoriter Soeharto,” kata Rosihan. Dan pada
akhirnya Rosihan menegaskan, “Jika sarasehan berpendapat, kereta lama sudah
tidak cocok lagi, maka tiada pilihan lagi kecuali menumpang kereta lain yang
dapat dipercaya dan diandalkan untuk membawa wartawan kepada destinasi dan
terminalnya.”
Menjelang
diskusi berakhir, Dahlan Iskan tampil ke mimbar. Hanya dalam waktu kurang dari
lima menit, pimpinan Grup Jawa Pos tersebut dengan suara lantang menganjurkan
agar “sekarang juga kita bentuk saja PWI-Reformasi atau PWI-Independen” (Radar
Jateng, edisi 22 November 1998). Anjuran Dahlan Iskan, yang saat itu telah
menerbitkan sekitar 40-an suratkabar, disepakati oleh sebagian terbesar hadirin
dengan beramai-ramai menandatangani naskah Deklarasi PWI-Reformasi pada
selembar kertas putih, dipandu oleh Masduki Attamami. Dengan demikian, maka
secara resmi tanggal 21 November 1998 dinyatakan sebagai hari lahir
PWI-Reformasi.
Sebulan
kemudian, Desember 1998, para aktivis PWI-Reformasi Korda Jawa Tengah menyambut
Deklarasi PWI-Reformasi dengan menggelar happening art oleh koreografer
Sardono W. Kusumo di Gedung Monumen Pers Nasional Solo, tempat kelahiran PWI
pada 9 Februari 1946. Seluruh gedung antik itu, juga benda-benda di dalamnya --
bahkan juga sebuah delman dan kuda yang mangkal di depan gedung -- dibalut
dengan kertas koran. Malamnya, dalam pertemuan para aktivis PWI-Reformasi
seluruh Jawa yang dipimpin oleh Margiono dari Grup Jawa Pos, diputuskan untuk
segera menggelar Kongres Luar Biasa di Jakarta. Tapi, penyelenggaraan Kongres
Luar Biasa tersebut terkendala oleh kesibukan menjelang pemilihan umum 1999.
Kongres Nasional
Menjelang
pemilihan umum 1999, PWI-Reformasi membentuk tim pemantau pemilu yang disebut
Jaringan Wartawan Pemantau Pemilu (JWPP), dengan project officer Gatot
Indroyono, sekaligus sebagai upaya menggalang konsolidasi organisasi. Adalah
Umar HN yang pertama kali membentuk PWI-Reformasi Koordinator Daerah Aceh,
disusul Faiz Albar (Sulawesi Utara), Mukhlizardy Mochtar (Sumatera Utara), Said
Ardillah (Riau), Artho Naziartho (Sumatera Selatan), Marlis Lubis dan Moh
Chudhori (Jambi), Bandelan Amaruddin (Jawa Tengah), Bambang Kartika Wijaya
(Kalimantan Tengah), Muchlis Mondia (Kalimantan Selatan), Aidir Amin Daud
(Sulawesi Selatan), Tasman Banto (Sulawesi Tenggara), Harzufry Sulaiman (Nusa
Tenggara Timur), Supriyantho Khafid (Nusa Tenggara Barat), Didi Puji Yuwono
(Jawa Timur), Ema Sukarelawanto (Bali), Willem Yobie (Irian Jaya).
Belakangan
menyusul sejumlah daerah lain: Budi Nugraha (Jawa barat), Asraferi Sabri
(Sumatera Barat), Abdul Madjid (Lampung), Syarifuddin Siregar (Bengkulu), La
Bata dan Jaya Putera (Kalimantan Barat), Badrul Munir (Kalimantan Timur), Andi
Hatta (Sulawesi Tenggara), Achmad Ibrahim (Maluku). Kini PWI-Reformasi sudah
berdiri di semua propinsi, bahkan juga di propinsi-propinsi yang baru: Banten,
Kepulauan Riau, Maluku Utara, Gorontalo; kecuali Bangka-Belitung. Namun, dalam
perkembangannya selama tiga tahun, ada beerapa koordinator daerah yang “mati
suri” seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah.
Sejak itu
PWI-Reformasi mulai dikenal secara luas. Terutama pada 9 Februari 1999 ketika
untuk pertama kalinya PWI-Reformasi menyiarkan pernyataan menolak hari lahir
PWI tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Alasannya, Hari Pers
Nasional merupakan upaya mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk mempolitisasi
PWI guna mendukung karir politiknya, sekaligus mengkooptasi pers Indonesia.
Apalagi sebelum PWI lahir sudah banyak organisasi wartawan yang jauh lebih tua
dan lebih nasionalis. Tak berapa lama kemudian, juga untuk pertama kalinya,
PWI-Reformasi muncul ke permukaan dengan menggelar demonstrasi bersama aktivis
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen dan Pewarta
Foto Indonesia membela tiga wartawan yang dilarang meliput kegiatan di
Kejaksaan Agung.
Menjelang
diselenggarakannya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999, bersama
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Pewarta Foto
Indonesia dan Aliansi Radio Independen, PWI-Reformasi menolak jatah kursi untuk
Wakil Golongan Wartawan di Majelis Permusyawaratan Rakyat, karena menganggap
posisi politik tersebut inkonstitusional. Pernyataan disampaikan oleh Budiman
S. Hartoyo, Gatot Indroyono (PWI-Reformasi) dan Arbain Rambey (Pewarta Foto
Indonesia) kepada Rudini, Ketua Komite Pemilihan Umum. Belakangan Budiman S.
Hartoyo, atas nama PWI-Reformasi, diminta berbicara sebagai narasumber dalam
diskusi mengenai pers dan pemilihan umum yang digelar oleh Komite Pendidikan
Pemilih (KPP) pimpinan Prof Dr Nurcholish Madjid di Gedung Yayasan tenaga Kerja
indonesia, Jakarta.
Untuk
mengefektifkan upaya konsolidasi, terutama menjelang Kongres Nasional I di
Semarang, dibuatlah mailing-list “Kedai Informasi dan Diskusi antarwarga
PWI-Reformasi”. Mailing-list tersebut sangat membantu kelancaran kerja
Panitia Pelaksana Kongres Nasional I PWI-Reformasi yang dimotori oleh Saiful
Bahri, Irianto, Bandelan Amaruddin, Prayitno, Moh. Thoriq, Kastoyo Ramelan dari
PWI-Reformasi Koordinator Daerah Jawa Tengah.
Maka pada
22-24 Maret 2000, dengan dana seadanya, Kongres Nasional I PWI-Reformasi pun
digelar di kawasan wisata Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kongres
dibuka di teras Gedung DPRD Propinsi Jawa Tengah oleh Umar HN (Korda Aceh),
Said Ardillah (Korda Riau) dan Willem Yobi (Korda Irian Jaya); dengan kata
sambutan oleh Kastoyo Ramelan (Ketua Panitia Pelaksana) dan Budiman S. Hartoyo
(Ketua Panitia Pengarah), dilanjutkan dengan penandatanganan Deklarasi kongres
Nasional I PWI-Reformasi oleh semua delegasi pada selembar kain kanvas putih.
Kongres berlangsung dalam suasana dinamis, demokratis dan bersemangat – hal
yang tak mungkin terjadi dalam Kongres PWI-Ordebaru! Dalam Kongres Nasional I
tersebut Budiman S. Hartoyo terpilih sebagai Ketua Umum Koordinator Nasional
PWI-Reformasi periode 2000-2003, Eddy Mulyadi sebagai Sekretaris Jenderal, Acin
H. Yassien sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Nasional, sedangkan Karni Ilyas
sebagai Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi.
Delapan
bulan kemudian diselenggarakanlah Konperensi Kerja Nasional I di Gedung Yayasan
Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 19-22 November 2001. Dalam sidang yang sangat
dinamis, diputuskan untuk melakukan reshuffle pengurus Koordinator
Nasional dan membentuk Tim Pelaksana Harian. Keputusan penting lainnya ialah
menunjuk PWI-Reformasi Koordinartor Daerah Jambi sebagai tuan rumah bagi
penyelenggaraan Kongres Nasional II. Berbeda dengan Kongres Nasional I yang
digelar dalam suasana prihatin (tapi penuh semangat), Kongres Nasional II yang
digelar di Hotel Tepian Ratu, Jambi, pada 22-24 Maret 2003, berlangsung meriah.
Dalam
Kongres Nasional II itu muncul tiga calon ketua umum: Budiman S. Hartoyo,
Praginanto dan Priyono B.Sumbogo. Dalam pemilihan tahap pertama, Budiman S.
Hartoyo meraih suara 19, Praginanto 17, sementara Priyono B. Sumbogo 4. Sesaat
sebelum pemilihan tahap kedua dimulai, Budiman S. Hartoyo tampil ke panggung
minta persetujuan kepada korda-korda pendukungnya untuk mengundurkan diri.
Setelah korda-korda menyetujui, Budiman S. Hartoyo menyatakan, antara lain,
“Saya kembali mencalonkan diri bukan didorong oleh ambisi pribadi melainkan
sebagai upaya untuk membangun suasana demokratis, jangan sampai yang muncul
cuma calon tunggal. Dan kini, kalau saya mengundurkan diri bukanlah bermaksud
berlepas tangan dari tanggungjawab sebagai pemimpin atau mengabaikan amanat
para pendukung, melainkan karena semata-mata ingin menciptakan mekanisme
kesinambungan kepemimpinan. Dan bahwa posisi ketua umum bukanlah semacam
‘jabatan’ atau ‘pangkat’ melainkan terkait erat dengan sebuah konsekwensi yang
disebut tanggungjawab.”
Maka
Praginanto pun terpilih sebagai Ketua Umum Koordinator Nasional PWI-Reformasi
periode 2003-2006, Asep Iskandar sebagai Sekretaris Jenderal, Umar HN sebagai
Ketua Majelis Pertimbangan Nasional, sementara Budiman S. Hartoyo sebagai Ketua
Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi. Ada satu hal yang perlu dicatat dalam
Kongres Nasional II di Jambi ini, ialah hadirnya Ketua Dewan Pers, Atmakusumah
Astraatmadja, yang antara lain menyatakan, “Kalau Dewan Pers tidak mengakui
eksistensi PWI-Reformasi, tidaklah mungkin hari ini saya hadir di hadapan
Saudara-Saudara sekalian dalam sebuah forum resmi seperti Kongres Nasional II
di Jambi ini.”
Menjelang
pemilu 2003, ada beberapa pengurus koordinator daerah yang menilai bahwa
pengurus Kornas PWI-Ref hasil Kongres Nasional II di Jambi melenceng dari
amanat kongres. Antara lain, Kornas dinilai cenderung membawa PWI-Ref mendukung
salah seorang calon presiden, sehingga tidak lagi independen. Maka pada akhir
Desember 2004, digelarlah Kongres Luar Biasa di Hotel Sargede, Yogyakarta.
Hasilnya: Ismed Hasan Putro terpilih sebagai ketua umum, dan nama PWI-Ref
diganti menjadi Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Tapi,
sampai sekitar satu setengah tahun kemudian, lagi-lagi pengurus PJI, terutama
ketua umum, dinilai tidak amanah. Bahkan Ismed tidak mengakui bahwa PJI
menrupakan kelanjutan dari PWI-Ref, sementara lambang organisasi diganti tanpa
melalui keputusan kongres. Maka sejumlah korda menuntut agar segera digelar
lagi kongres untuk menyelamatkan organisasi.
Pada akhir Agustus
2007, berlangsunglah kongres di Subang, Jawa Barat. Dalam forum ini para
peserta sepakat mengembalikan nama organisasi menjadi PWI-Reformasi, sementara
Narliswandi Piliang dan Kaka Suminta masing-masing sebagai ketua umum dan
sekretaris umum.
---------------------
*) Data-data dalam naskah sejarah tersebut di
atas, yang disusun oleh oleh Tim Sejarah PWI-Reformasi, tentulah belum
sempurna. Masih banyak data, bahkan juga nama kawan-kawan yang berperan, belum
tercatat. Naskah ini hendaknya disempurnakan oleh kawan-kawan, terutama yang
ikut serta di masa awal sejarah PWI-Reformasi. Kawan-kawan berikut ini juga diharapkan
sumbangannya, yaitu Masduki Attamami (mengenai seminar “Wartawan
Menggugat” di Hotel Radisson, Yogyakarta), Bambang Soen (mengenai
upacara nglarung di pantai Parangtritis, Yogyakarta), Bandelan
Amaruddin dan Prayit (mengenai demonstrasi di Semarang), Kastoyo
Ramelan (mengenai pertemuan di Museum Pers Solo menjelang Kongres Nasional
I), Saiful Bahri (mengenai Kongres Nasional I di Bandungan, Semarang), Moh.
Chudhori (mengenai Kongres Nasional II di Jambi), Sunu Budi Priyanto (mengenai KLB Yogyakarta), dan Kaka Suminta (mengenai Kongres
Subang).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar